Dua Dosen USM berkolaborasi dengan dosen Antropologi Universitas Malikussalaeh bersama tujuh mahasiswa Pendidikan Guru Sekolah dasar (PGSD) melakukan penggarapan film Tameung Hate sebagai salah satu produk hibah pengabdian kemitraan Masyarakat (PKM) Pendanaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (DRTPM) tahun anggaran 2024.
Film ini mengangkat isu perundungan yang terjadi di level Sekolah, Aktor dalam penggarapan film ini melibatkan dosen, mahasiswa dan siswa serta guru Sekolah Dasar Negeri Limpok, Sekolah Alam islamic Orbit School dan SD Negeri Lampeuneurut Aceh Besar. Keterlibatan Sekolah langsung dalam bermain peran bertujuan untuk mengedukasi dan membangun empati warga sekolah terhadap kasus perundungan yang semakin meningkat di Aceh khususnya di tingkat sekolah.
Penggarapan film ini dipimpin oleh ketua Fadhillah, M.Pd, Putry Julia, M.Pd dan Mujiburrahman, M.Hum yang merupakan dosen pengabdian masyarakat lintas bidang ilmu, Manajemen Pendidikan, Seni dan Sejarah dalam kajian Antropologi.
Fadhillah mengatakan, tim mahasiswa PGSD USM yang terlibat dalam penggarapan film ini mendapatkan pengalaman pengembangan diri di luar kampus melalui kegiatan pembelajaran project based learning “bermain film pendek”, dimana mahasiswa sebelumnya mengamati dan berdialog langsung dengan masyarakat untuk memahami pendekatan kearifan lokal Aceh yang dapat dijadikan penetrasi dalam menangani kasus perundungan yang terjadi.
“Film Tameung hate sudah dilakukan uji publik di depan para pakar, beberapa sekolah, Dinas pendidikan Aceh Besar serta pengamat sosial, orang tua, termasuk dihadapan dosen dan perwakilan mahasiswa”, ujar Fadhillah.
“Hasil uji publik mendapatkan sambutan yang sangat bagus, mereka yang menyaksikan film itu mengatakan bahwa terdapat nilai edukasi yang ditampilkan dalam film Tameung hate, siswa Sekolah dasar dibangun empati tentang dampak dari perundungan terhadap korban dan pelaku, sekolah diberikan penguatan strategi pengelolaan dalam menangani kasus perundungan, selain itu juga ditampilkan bagaimana langkah guru dalam melakukan pendekatan dan membangun komunikasi efektif dengan korban dan pelaku perundungan. Nilai-nilai budaya Aceh yang ditampilkan, relegiusita dan pendekatan pada Allah, Peusijuk, peran perangkat gampong dan tokoh agama, tradisi berziarah ke makam orang tua dan hormat pada Ibu. Setiap dialog dirancang untuk memperlihatkan kekuatan dukungan komunitas dan bagaimana nilai-nilai lokal dapat menjadi “tameung hate“ atau pelindung hati dalam membantu menyembuhkan dan memberdayakan individu yang mengalami perundungan, dalam istilah bahasa Aceh, tameung berarti tameng atau perlindungan, sedangkan Hate berarti hati”, lanjutnya.
Pada akhir cerita film tersebut, menggambarkan bagaimana cinta, dukungan, dan kebersamaan berfungsi sebagai perlindungan bagi hati yang terluka akibat perundungan. Film Tameung hate tidak hanya mencerminkan kekuatan emosional dan mental yang dibutuhkan untuk melawan bullying, tetapi juga memberikan nuansa kearifan lokal yang dalam, menjadikannya relevan dan bermakna bagi penonton yang akrab dengan budaya Aceh.
Penayangan perdana film “Tameung Hate” dilakukan bersamaan dengan seminar nasional, menghadirkan dua narasumber yang merupakan pakar dalam pengasuhan berbasis fitrah yaitu Drs Adriano Rusfi, M. Psi (ustad Aad) dan Safithrie Sutrisno, S. Psi (Emak), di Ruang Mini teater Gedung B Puslatbang KHAN LAN RI Aceh, 21 September 2024.
Ustad Aad menyampaikan materi tentang membentuk generasi peradaban melalui pendidikan berbasis kehidupan dan alam. Selanjutnya emak Safithrie mengupas tuntas bagaimana mendidik anak menjadi generasi tangguh dan berakhlak mulia.
Dijelaskannnya, Kolaborasi kegiatan seminar nasional dan launching film pendek “Tameung Hate” bertujuan untuk memberikan edukasi tentang pola pengasuhan yang tepat yang dapat dilakukan melalui sinergitas sekolah dan orang tua sebagai upaya dalam pencegahan perundungan yang semakin meningkat di Aceh.
Fadhillah mengatakan bahwa film yang berdurasi selama 20 menit, menyampaikan kisah seorang anak yang bernama Dek Cut Aisyah yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar mengalami perundungan hingga berdampak pada kondisi kesehatan mental Dek Cut.
Kondisi keluarga, dimana Ayahnya sakit-sakitan hingga meninggal dunia. Ibunya mengalami depresi hingga dirawat di rumah sakit jiwa. Abang Umar yang diperankan oleh Muhammad, mahasiswa PGSD, harus bekerja sebagai kuli bangunan. Ia terpaksa harus meninggalkan Dek Cut hidup sebatang kara. ini menjadi awal perundungan yang dilakukan oleh teman sekolah kepada Dek Cut.
(Saksikan Kisah Dek Cut di Youtube USM TV pada 26 September 2024)