Jika memasuki istana kepresidenan, pemandangan yang umum ditemui adalah deretan foto mantan presiden dan wakilnya sejak Republik Indonesia berdiri sampai saat ini. Hal ini dilakukan demi menghargai jasa-jasa para pemimpin bangsa terdahulu, seperti layaknya semboyan khas Bung Karno yaitu “Jas merah atau Jangan sekali-kali melupakan sejarah.”
Akan tetapi, ironisnya, dalam deretan foto tersebut, tidak terlihat foto salah satu wakil presiden bangsa Indonesia, yaitu Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan. Padahal, dalam berbagai manuskrip dan sumber sejarah, disebutkan bahwa beliau pernah menjabat sebagai wakil presiden pada masa berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Jasa beliau tidak main-main. Berdasarkan catatan sejarah, masa darurat ini adalah masa genting di mana terjadi agresi militer Belanda ke II pada tanggal 19 Desember 1948, dan kolonial Belanda menangkap tokoh-tokoh penting Indonesia, termasuk Soekarno-Hatta sehingga terdapat kekosongan pimpinan dalam pemerintahan saat itu dan ibukota Jogyakarta menjadi lumpuh. Untuk mengatasi situasi darurat ini, Bung Karno kala itu melancarkan strategi, yaitu memberi mandat kepada Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan untuk mengisi kekosongan darurat tersebut dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) pun terbentuk. Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan adalah pria kelahiran Aceh, Sumatra, yang notabene jauh dari Pulau Jawa, namun pemberian mandat ini membuktikan bahwa Soekarno-Hatta menaruh kepercayaan besar pada kemampuan putra kelahiran provinsi paling ujung sumatera tersebut untuk menjalankan negara.
PDRI disebutkan lahir di Halaban pada tanggal 22 Desember 1948, namun ada fakta sejarah yang menyebutkan bahwa perjalanan pembentukan pemerintahan darurat tersebut sebenarnya telah dimulai di Bukittinggi melalui serangkaian rapat yang digelar sejak tanggal 19 Desember. Tanggal 22 Desember 1948 dini hari di Halaban adalah hari penegasan dari pendirian PDRI sekaligus pembentukan kabinet yang akan menjalankan pemerintahan yang baru saja lahir. Mandat ini pun diemban dengan sangat baik oleh Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan beserta tim sehingga rencana cadangan Soekarno saat itu untuk mengangkat Mr. A.A. Marmis menggantikan Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan jika ia gagal tidak lagi diperlukan.
Yang lebih mengesankannya lagi, Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan melakukan semua ini tanpa digaji. Ia bekerja murni karena ibadah dan keinginan kuat akan terwujudnya Republik Indonesia yang berdaulat. Seandainya saja Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan tidak mengisi kekosongan pemerintahan pada saat itu, mungkin saja Indonesia sudah jatuh ke tangan Belanda, dan masa depan Indonesia tidak sama seperti yang sedang kita nikmati saat ini.
Beliau beserta presiden PDRI, Sjarifuddin Prawiranegara, terus menyerukan kepada masyarakat untuk melawan agresi Belanda ke II sembari terus menyuarakan pada dunia internasional bahwa pemerintahan Indonesia masih ada.
Belanda saat itu benar-benar kewalahan melawan pejuang dan rakyat Indonesia. Dunia internasional pun mengecam agresi Belanda ke II. Pada akhirnya Belanda yang sudah merasa terjepit, membawa perang kembali ke perundingan, yang dikenal dengan perundingan Roem-Royen tepatnya pada tanggal, 13 Juli 1949.
Setelah adanya keputusan dari perjanjian tersebut, PDRI pun berakhir dan mandat kembali diserahkan pada Soekarno agar tidak terjadi dualisme kepemimpinan di Indonesia.
Bagi saya pribadi, sosok Dr. Mr. Teuku Moehammad Hasan adalah bintang yang bersinar namun sepertinya ada bab yang hilang dalam sejarah kepresidenan Indonesia. Padahal, bukti otentik sejarah tentang sepak terjang presiden dan wakil presiden PDRI ini masih ada. Salah satunya masih terdapat kantor PDRI di Bidar Alam Solok, Sumatera Barat.
Terlepas dari pro dan kontra tentang presiden dan wakil presiden periode 22 Desember 1948 – 13 Juli 1949, seharusnya sejarawan mengkaji lebih dalam tentang peristiwa ini. Pelurusan sejarah itu perlu, apa lagi ini menyangkut identitas kebangsaan.
Oleh sebab itu, siapapun penguasa saat ini, saya rasa perlu membentuk tim khusus untuk mengisi bab yang hilang dalam sejarah kepresidenan Indonesia.
Harusnya, di Istana Jakarta ada foto kedua tokoh hebat tersebut yaitu Syarifuddin Prawiranegara dan Teuku Moehammad Hasan, sebagai Presiden dan Wakil Presiden priode Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Semoga saja ada kepedulian untuk ini. Sejarah perlu tercatat rapi. Jangankan yang baik, yang kelam pun, mendokumentasikannya adalah bagian dari proses menyampaikan kebenaran. Agar bisa dijadikan sebagai saksi bisu, namun akan selalu dikenang bagi generasi mendatang. Selamat Hari Pahlawan 2023
Penulis
Denny Satria (Humas Universitas Serambi Mekkah)
Editor : Dr. Teuku Abdurahman, SH, Sp.N